Sabtu, 21 Mei 2011

Lingkungan Historis Kebangkitan Nasional

Sekitar awal abad 20, dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa, mempunyai gagasan-gagasan tentang upaya meningkatkan martabat bangsa Jawa melalui pendidikan di kalangan priyayi Jawa dengan tetap menjunjung tinggi budaya Jawa. Pada awalnya gagasan tersebut kurang mendapat dukungan dari para priyayi, kecuali sebagian kecil priyayi Jawa saja. Namun pada perkembangannya, gagasan tersebut menarik minat beberapa siswa STOVIA. Momentum penting diterimanya gagasan dr. Wahidin tersebut adalah ketika beliau singgah ke STOVIA pada tahun 1907 untuk istirahat dari perjalanan jauh dalam rangka mengkampanyekan gagasannya. Di sana ia diundang oleh Soetomo dan Soeradji agar menyampaikan gagasannya kepada mereka. Ternyata gagasan-gagasan dr. Wahidin sangat berpengaruh kepada Soetomo yang kemudian segera larut dalam upaya mendirikan sebuah perkumpulan di STOVIA. Maka pada tanggal 20 Mei 1908 berkat usaha Soetomo dan Soeradji dalam mengumpulkan siswa-siswa STOVIA berdirilah Budi Utomo dengan Soetomo sebagai ketuanya.
Tanggal berdirinya Budi Utomo tersebut kemudian kita peringati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Sebuah peringatan yang mengingatkan kita tentang awal mula kesadaran dalam perjuangan kemerdekaan. Budi Utomo merupakan sebuah organisasi yang bercorak kedaerahan dan lebih bersifat kultural daripada bersifat politis, akan tetapi peringatan hari kebangkitan nasional setiap tanggal 20 Mei tidak akan pernah berkurang maknanya ketika kita melihat secara menyeluruh lingkungan historisnya. Setelah Budi Utomo kemudian menyusul organisasi lain yang lebih radikal seperti Sarekat Islam dan Indische Partij. Bahkan yang disebut terakhir tersebut melalui dr. Cipto Mangunkusumo dengan lantang mengumandangkan semboyan “indies los van Holland”, Hindia lepas dari negeri Belanda. Artinya bahwa lingkungan historis kebangkitan nasional bukan sekedar munculnya Budi Utomo. Namun lebih dari itu juga mencakup kemunculan organisasi-organisasi lain setelahnya yang memiliki cita-cita nation yang lebih luas, yang melingkupi seluruh Hindia Belanda.

Politik Etis, Diskriminasi dan Sejarah Kebangkitan Nasional
Berbicara tentang kebangkitan nasional tentu tidak bisa lepas dari konteks dan lingkungan historis yang membentuknya, yaitu penerapan kebijakan politik etis atau politik balas budi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Konsep politik etis tersebut mencakup tiga bidang yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi. Meskipun pada prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan, namun politik etis, utamanya bidang edukasi telah mendorong terjadinya mobilisasi sosial secara vertikal bagi sebagian kecil pribumi yang berkesempatan untuk sekolah.
Pendidikan kolonial telah membawa sebuah revolusi kecil dalam masyarakat Indonesia waktu itu. Dengan berbekal pendidikan akademis dan ketrampilan, jenjang kepangkatan seorang pegawai negeri dari golongan bawah dapat naik hingga mendekati pangkat bupati. Kenaikan status sosial tersebut canderung berbanding lurus dengan kondisi ekonomi mereka. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan telah menghasilkan elit-elit kelas menengah baru terdidik.
Kelas menengah baru yang muncul sebagai dampak dari meluasnya pendidikan pada masa politik Etis pada umumnya terdiri dari pegawai-pegawai yang memperoleh gaji, dan kebanyakan diantaranya adalah pegawai negeri. Hal ini sejalan dengan indikasi bahwa sekolah-sekolah pada masa kolonial hanya ditujukan untuk membentuk tenaga kerja yang terikat dengan sistem kolonial.
Pendidikan kolonial memang membuka transformasi sosial yang memungkinkan golongan bawah menembus golongan atas. Akan tetapi pendidikan kolonial tidaklah menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya. Hal ini juga didukung dengan situasi dan prasangka politik dalam perekrutan pegawai yang sangat rasial. Sehingga tidaklah mengherankan jika tenaga terdidik pribumi tidak bisa memperoleh pekerjaan. Karena yang diprioritaskan adalah orang-orang terdidik berkebangsaan Eropa atau Indo. Kalaupun ia memperoleh pekerjaan, standarnya berada dibawah kualifikasi yang seharusnya dia dapat. Kondisi ini juga diakibatkan oleh ketidakmampuan Pemerintah Kolonial Belanda dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai untuk orang-orang pribumi yang terdidik.

Pada dasarnya, terpinggirkannya kaum terpelajar dari dunia kerja merupakan bentuk dari diskriminasi dan sub-ordinasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana halnya dengan diskriminasi dan sub-ordinasi lainnya yang dilakukan oleh Belanda sejak mereka menjejakkan kakinya di bumi nusantara yang selalu sejalan dengan garis etnis. Penempatan warga pribumi pada struktur terbawah dalam piramida kelas masyarakat pada masa kolonial dan penyebutan warga pribumi dengan inlander, sebuah kata yang berkonotasi inferior, semakin mempertegas bentuk diskriminasi dan sub-ordinasi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Anderson; Tersirat pula dalam kata itu bahwa, dalam keinferioran mereka semua (bersama), kaum inlander layak direndahkan secara setara, tanpa memperdulikan dari kelompok suku mana atau dari kelas apa mereka berasal (2001 : 186).
Kondisi inferioritas dan diskriminatif yang dibangun oleh sang penjajah tersebut kemudian semakin dirasakan oleh elit intelektual sebagai sebuah penindasan oleh sang kolonial. Memang kesadaran akan ketertindasan telah dirasakan sebelum munculnya para elit intelektual tersebut yang ekspresinya muncul dalam bentuk pergolakan-pergolakan fisik yang bersifat lokal. Namun dengan kemunculan elit intelektual tersebut, strategi dan perjuangan melawan penindasan kolonial yang tadinya bersifat lokal semakin terarah menuju pada kesadaran nasional. Artinya jelas bahwa kesadaran nasional muncul bukan sekedar karena terpinggirkannya elit intelektual dari dunia kerja dan sistem kolonial, namun lebih kepada munculnya kesadaran akan ketertindasan yang diakibatkan sang kolonial melalui penciptaan kondisi inferioritas, diskriminasi dan sub-ordinasi.
Oleh karena itu, golongan terpelajar yang terbuang dari sistem kolonial tersebut selanjutnya memang menjadi motor gerakan anti kolonial. Kesadaran anti kolonial yang bukan sekedar karena terbuang dari sistem pemerintahan kolonial, akan tetapi sebuah kesadaran dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keingingan meningkatkan derajat “inlander”. Kondisi tersebut kemudian didukung dengan munculnya para lulusan sekolah-sekolah liar yang semakin menemukan dirinya bersesuaian dengan golongan terpelajar lulusan sekolah resmi yang terbuang tersebut. Walaupun secara tradisi pendidikan dan ideologi kedua golongan tersebut berbeda, namun mereka berhadapan dengan kondisi sosial yang hampir sama dan sama-sama terlepas dari klaim politik dan kekuasaan. Selain itu perbedaan dalam tradisi intelektual justru menyebabkan mereka sanggup mengajukan dan menguji pilihan politis dan ideologis bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga bisa dikatakan bahwa salah satu faktor penggerak kebangkitan nasional adalah golongan terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat namun merasa kecewa dengan sistem kolonial. Karena pendidikan pada akhirnya tidak sekedar menghasilkan pegawai-pegawai administrasi yang setia namun juga menumbuhkan benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme. Dimana pada akhirnya, golongan-golongan terpelajar tesebut membentuk berbagai macam pergerakan yang sifatnya kedaerahan hingga nasional yang kemudian menjadi pemicu kebangkitan nasional yang pada akhirnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Kini untuk kesekian kalinya kita memperingati hari kebangkitan nasional. Dalam sebuah peringatan, yang lebih penting adalah bagaimana memaknai peringatan tersebut. Makna sebuah peringatan bukanlah sekedar mengingat-ingat apa yang terjadi pada masa lampau. Namun lebih dari itu adalah mengingat untuk melakukan introspeksi diri dan belajar dari masa lampau. Masa kebangkitan nasional adalah masa dimana strategi untuk lepas dari diskriminasi dan sub-ordinasi yang dilakukan oleh sang kolonial beralih ke strategi perjuangan melalui organisasi politik modern. Kesadaran akan ketertindasan dan diskriminasi oleh sang kolonial serta upaya sejajar dengan sang penjajah dirumuskan sedemikian rupa dalam sebuah organisasi menjadi suatu cita-cita agar lepas dari cengkeraman kolonialisme. Sebuah masa yang menjadi penghela perjuangan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Selengkapnya...

Kamis, 09 September 2010

Kritik Sang Kolonel

"Apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraanya?". Itu adalah bagian kritikan yang disampaikan Kolonel Adjie Suradji kepada SBY beberapa waktu lalu melaui opini sebuah surat kabar nasional. Sebuah kritikan yang menunjukkan kekecewaan dan ketidakpuasan atas kinerja presiden selama ini. Mungkin apa yang disampaikan Kolonel tersebut merupakan perasaan yang sama yang dirasakan kebanyakan masarakat kita akhir-akhir ini terhadap kinerja pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif.

Pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan seperti ledakan tabung gas, kenaikan harga hingga korupsi yang masih saja tinggi persentasenya. Hal ini diperparah dengan buruknya kinerja lembaga legislatif (DPR) yang seakan-akan tidak serius menyuarakan suara rakyat. Anggota dewan hanya sibuk menggolkan dana aspirasi ini dan itu. Selain itu beberapa waktu lalu terkuak tingginya angka ketidakhadiran anggota dewan dalam sidang. Dan peristiwa terakhir adalah upaya pembangunan gedung baru yang dianggap mencederai nurani rakyat.

Mungkin hal itu jugalah yang dirasakan oleh sang Kolonel. Kritik adalah dinamika dalam demokrasi dan merupakan hal yang wajar. Namun yang menjadi permasalahan adalah posisi dia sebagai pengkritik yang merupakan seorang perwira aktif di TNI. Apa yang dilakukan Kolonel Adjie tersebut merupakan preseden buruk terhadap upaya reformasi TNI menuju pada militer yang profesional. Karena bagaimanapun juga melakukan kritik terbuka di media massa merupakan salah satu wujud politik praktis. Padahal sejak reformasi, upaya mengembalikan militer sebagai organ professional yang tidak terlibat dalam politik praktis gencar dilakukan.

Jadi disamping melanggar etika dan disiplin dalam TNI karena melakukan kritik terhadap Panglima Tertinggi TNI (Presiden), kritik terbuka tersebut juga menjadi bentuk langkah mundur institusi TNI dalam mereformasi diri (meski mungkin opini sang Kolonel adalah inisiatif sendiri). Artinya bahwa jika semua perwira TNI mengekspresikan kekecewaan terhadap pimpinan (Presiden) secara terbuka, maka stabilitas pemerintahan akan goyah karena tidak mendapat dukungan dari militer dan militer akan kembali aktif dalam dunia politik praktis. Militer selama ini terbukti menjadi salah satu organisasi paling solid dalam sejarah politik Indonesia.

Tentu kita masih ingat akan istilah Dwi Fungsi ABRI/ Dwi Dharma ABRI. Istilah jalan tengah bagi militer yang diinisiasi oleh Jendral AH Nasution tersebut adalah bentuk pembenaran atas partisipasi militer dalam politik. Dengan munculnya kritik terbuka seperti yang dilontarkan oleh Kolonel Adjie Suradji tersebut juga bisa dikhawatirkan akan menjadi wujud semangat untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI muncul kembali suatu saat. Jadi alangkah lebih bijaknya jika opini sang Kolonel tersebut kita dudukkan sebagai suara kegelisahan masyarakat kita terhdap buruknya kinerja pemerintah dan DPR yang kurang tanggap terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa ini. Bukan sebagai suara institusi militer untuk kembali berpolitik. Sehingga tepat jika sanksi tegas perlu diberikan kepada anggota TNI aktif yang melakukan kritik terbuka terhadap atasannya, agar profesionalisme TNI tetap terjaga.
(September-2010)
Selengkapnya...

Selasa, 25 Mei 2010

Rindu Aku Kepadamu : Bidadariku

Dalam bait syair ku engkau adalah bidadariku
Indah wujudmu tergurat dalam cermin jiwaku
Jujur langkahmu menyusuri liku jalan pahamku
Ah..dari mana datangnya elok mu itu?


Dalam temaram sinar bulan itu
Kurasai ada lembut senyummu
Seakan menghibur syahdu hatiku
Lalu bijak bisikmu menuntun aku dalam keteduhanmu

Dalam do'a kusamarkan indah namamu untuk menemaniku
'Namun aku bukan bidadari' gugatmu
'Memang bukan' jawabku
Karena itu aku rindu kepadamu..

(Jogja, Mei 2010)
Selengkapnya...

Selasa, 09 Februari 2010

di pertemuan kedua

aku hanya berusaha melukismu..
bukan wujudmu tapi jiwa mu..
meski tiada kuas dan kanvas..
hanya anganku..


aku hanya berusaha melukismu..
bukan untuk aku sendiri..
tapi untuk semesta pula..
mungkin Tuhan akan kecewa..
melukismu dengan banalitas angan..
aku tiada peduli..

di pertemuan kedua..
aku hanya ingin jujur..
bukan semata kepada diri..
tapi juga semesta dan karya Tuhan..
[kamu]..
nyata keindahan..

(Feb-2010)
Selengkapnya...

Rabu, 11 November 2009

Coretan Terakhir 3 tahun Lalu

Berikut ini adalah dua tulisan terakhir 3 tahun yang lalu. Terinspirasi dari teori deprivasi-nya Lacan..hehehe..tapi sedikit diplesetkan. Saya akui corat-coret tersebut adalah cara saya mengatasi kejenuhan dalam mengerjakan skripsi. Ketika tidak tahu lagi apa yang harus ditulis, ketika mentok pada suatu teori tertentu, atau ketika benar-benar merasa 'sendiri'. Tetapi ini efektif dalam mengeluarkan ide-ide yang berkaitan dengan skripsi (setidaknya untuk saya..hehehe). Mungkin kalian punya cara-cara sendiri..silahkan dinikmati :


Kidung Anak Malang (bag satu)

Cerita orang tua “anak ini tak berpunya satupun kelebihan”
Ketika kecil dia sangat sok karena sempitnya pikiran
Ketika kecil yang kedua si anak menjadi bingung
Tak terima dengan segala kekalahan

Ia masih belum sadar sepenuhnya.....
Luasnya dunia tak dianggapnya ada
Dunia adalah dirinya sendiri
Ketika semua ingin dan angan menjadi satu kenyataan
Tapi dia lupa cerita orang tua “anak ini tak berpunya satupun kelebihan”


Kidung Anak Malang (bag dua)

Ketika diperolehnya pikiran
Ia masih belum sepenuhnya tahu
Apa itu suatu hubungan antar manusia
Karena “anak ini tak berpunya satupun kelebihan”

“Tak berpunya kelebihan?” Kata si anak. “Itu menurut kalian!”
“Akan kubuktikan aku masih ada tatkala tiada kelebihan satupun
karena kelebihan ini hanya aku yang tahu”
Itulah angan yang ingin dimunculkan si anak pada orang-orang busuk itu
Tapi ia lupa itu hanya ada diangannya tanpa satupun yang menjadi ada

Karena dalam hubungan antar makhluk busuk
Kebusukan satu dengan yang lain adalah ketika ada tuntutan yang harus ada
Kebusukan itu menjadi manis ketika dimunculkan harapan
Ketika si anak berpikir bahwa itulah realitanya
Sebenarnya ia hanya menjadi bagian realita belaka untuk menuju kesenangan orang-orang busuk

Selengkapnya...

Selasa, 10 November 2009

Saat itu Astore masih ada (2)

Ini adalah lanutan coretan tiga tahun lalu. Kalau sebelumnya berjudul "Dualitas Dalam Diriku", maka untuk lanjutannya ini saya beri judul Ke-munafik-an. Bisa dibilang ini adalah proses saya dalam mempelajari salah satu sifat dasar manusia yaitu munafik. Silahkan dibaca...

KE-MUNAFIK-AN

Ketika langit berpaling aku menantang
Tatkala langit terlelap aku berkacak pinggang
Apa yang hendak kau lakukan padaku wahai langit

Ketika langit menantang aku lari tunggang langgang
Ketika langit mencengkeram aku mendusta
Kaulah segalanya di dunia ini wahai langit

Seperti tatkala sang mentari berjubahkan busana pertamanya
Aku tak mampu menantangnya
Namun ketika sang mentari mulai menanggalkan baju dunianya
Aku berada persis di belakangnya

Selengkapnya...

Minggu, 08 November 2009

Saat itu Astore masih ada

Berikut ini adalah rangkaian kata-kata 3 tahun yang lalu. Puisi bukan, sajak juga bukan. Tulisan ini saya buat ketika saya sedang puyeng mikirin skripsi yang ga kelar2. Lha karena puyeng, sendirian, trus ngap ngop kayak orang bego di kamar seorang kawan, maka jadilah corat-coret ini.

Dualitas Dalam Diriku

Ketika aku menolak, inginku semakin memuncak
Ketika aku percaya, sombongku melarangnya
Dalam lelap aku tersadar akan mimpi
Antara khayalan dan kenyataan
Sedang menurutku dunia ini hanya khayalan

Untuk apa aku hidup
Diriku yang lain mengharamkannya
Apakah berkhayal dan melamun adalah suatu dosa? Tanyaku...
Ya..., jawabnya.
Apakah dosa ketika aku tak percaya pada ke-Ada-an? Tanyaku lagi.
Ya..., jawabnya.
Kenapa?
Ke-Ada-an adalah yang menciptamu...
Atas dasar apa?
Cinta dua insan....
Apakah cinta dua insan itu?
Dasar dari cinta antar insan.....
Sebuah dasar!!! Gugatku... Dasar dari semua insan adalah nafsu.
Nafsu? Tanyanya
Ya....,jawabku

Selengkapnya...