Tanggal berdirinya Budi Utomo tersebut kemudian kita peringati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Sebuah peringatan yang mengingatkan kita tentang awal mula kesadaran dalam perjuangan kemerdekaan. Budi Utomo merupakan sebuah organisasi yang bercorak kedaerahan dan lebih bersifat kultural daripada bersifat politis, akan tetapi peringatan hari kebangkitan nasional setiap tanggal 20 Mei tidak akan pernah berkurang maknanya ketika kita melihat secara menyeluruh lingkungan historisnya. Setelah Budi Utomo kemudian menyusul organisasi lain yang lebih radikal seperti Sarekat Islam dan Indische Partij. Bahkan yang disebut terakhir tersebut melalui dr. Cipto Mangunkusumo dengan lantang mengumandangkan semboyan “indies los van Holland”, Hindia lepas dari negeri Belanda. Artinya bahwa lingkungan historis kebangkitan nasional bukan sekedar munculnya Budi Utomo. Namun lebih dari itu juga mencakup kemunculan organisasi-organisasi lain setelahnya yang memiliki cita-cita nation yang lebih luas, yang melingkupi seluruh Hindia Belanda.
Politik Etis, Diskriminasi dan Sejarah Kebangkitan Nasional
Berbicara tentang kebangkitan nasional tentu tidak bisa lepas dari konteks dan lingkungan historis yang membentuknya, yaitu penerapan kebijakan politik etis atau politik balas budi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Konsep politik etis tersebut mencakup tiga bidang yaitu irigasi, emigrasi dan edukasi. Meskipun pada prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan, namun politik etis, utamanya bidang edukasi telah mendorong terjadinya mobilisasi sosial secara vertikal bagi sebagian kecil pribumi yang berkesempatan untuk sekolah.
Pendidikan kolonial telah membawa sebuah revolusi kecil dalam masyarakat Indonesia waktu itu. Dengan berbekal pendidikan akademis dan ketrampilan, jenjang kepangkatan seorang pegawai negeri dari golongan bawah dapat naik hingga mendekati pangkat bupati. Kenaikan status sosial tersebut canderung berbanding lurus dengan kondisi ekonomi mereka. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan telah menghasilkan elit-elit kelas menengah baru terdidik.
Kelas menengah baru yang muncul sebagai dampak dari meluasnya pendidikan pada masa politik Etis pada umumnya terdiri dari pegawai-pegawai yang memperoleh gaji, dan kebanyakan diantaranya adalah pegawai negeri. Hal ini sejalan dengan indikasi bahwa sekolah-sekolah pada masa kolonial hanya ditujukan untuk membentuk tenaga kerja yang terikat dengan sistem kolonial.
Pendidikan kolonial memang membuka transformasi sosial yang memungkinkan golongan bawah menembus golongan atas. Akan tetapi pendidikan kolonial tidaklah menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya. Hal ini juga didukung dengan situasi dan prasangka politik dalam perekrutan pegawai yang sangat rasial. Sehingga tidaklah mengherankan jika tenaga terdidik pribumi tidak bisa memperoleh pekerjaan. Karena yang diprioritaskan adalah orang-orang terdidik berkebangsaan Eropa atau Indo. Kalaupun ia memperoleh pekerjaan, standarnya berada dibawah kualifikasi yang seharusnya dia dapat. Kondisi ini juga diakibatkan oleh ketidakmampuan Pemerintah Kolonial Belanda dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai untuk orang-orang pribumi yang terdidik.
Pada dasarnya, terpinggirkannya kaum terpelajar dari dunia kerja merupakan bentuk dari diskriminasi dan sub-ordinasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana halnya dengan diskriminasi dan sub-ordinasi lainnya yang dilakukan oleh Belanda sejak mereka menjejakkan kakinya di bumi nusantara yang selalu sejalan dengan garis etnis. Penempatan warga pribumi pada struktur terbawah dalam piramida kelas masyarakat pada masa kolonial dan penyebutan warga pribumi dengan inlander, sebuah kata yang berkonotasi inferior, semakin mempertegas bentuk diskriminasi dan sub-ordinasi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Anderson; Tersirat pula dalam kata itu bahwa, dalam keinferioran mereka semua (bersama), kaum inlander layak direndahkan secara setara, tanpa memperdulikan dari kelompok suku mana atau dari kelas apa mereka berasal (2001 : 186).
Kondisi inferioritas dan diskriminatif yang dibangun oleh sang penjajah tersebut kemudian semakin dirasakan oleh elit intelektual sebagai sebuah penindasan oleh sang kolonial. Memang kesadaran akan ketertindasan telah dirasakan sebelum munculnya para elit intelektual tersebut yang ekspresinya muncul dalam bentuk pergolakan-pergolakan fisik yang bersifat lokal. Namun dengan kemunculan elit intelektual tersebut, strategi dan perjuangan melawan penindasan kolonial yang tadinya bersifat lokal semakin terarah menuju pada kesadaran nasional. Artinya jelas bahwa kesadaran nasional muncul bukan sekedar karena terpinggirkannya elit intelektual dari dunia kerja dan sistem kolonial, namun lebih kepada munculnya kesadaran akan ketertindasan yang diakibatkan sang kolonial melalui penciptaan kondisi inferioritas, diskriminasi dan sub-ordinasi.
Oleh karena itu, golongan terpelajar yang terbuang dari sistem kolonial tersebut selanjutnya memang menjadi motor gerakan anti kolonial. Kesadaran anti kolonial yang bukan sekedar karena terbuang dari sistem pemerintahan kolonial, akan tetapi sebuah kesadaran dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keingingan meningkatkan derajat “inlander”. Kondisi tersebut kemudian didukung dengan munculnya para lulusan sekolah-sekolah liar yang semakin menemukan dirinya bersesuaian dengan golongan terpelajar lulusan sekolah resmi yang terbuang tersebut. Walaupun secara tradisi pendidikan dan ideologi kedua golongan tersebut berbeda, namun mereka berhadapan dengan kondisi sosial yang hampir sama dan sama-sama terlepas dari klaim politik dan kekuasaan. Selain itu perbedaan dalam tradisi intelektual justru menyebabkan mereka sanggup mengajukan dan menguji pilihan politis dan ideologis bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga bisa dikatakan bahwa salah satu faktor penggerak kebangkitan nasional adalah golongan terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat namun merasa kecewa dengan sistem kolonial. Karena pendidikan pada akhirnya tidak sekedar menghasilkan pegawai-pegawai administrasi yang setia namun juga menumbuhkan benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme. Dimana pada akhirnya, golongan-golongan terpelajar tesebut membentuk berbagai macam pergerakan yang sifatnya kedaerahan hingga nasional yang kemudian menjadi pemicu kebangkitan nasional yang pada akhirnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Kini untuk kesekian kalinya kita memperingati hari kebangkitan nasional. Dalam sebuah peringatan, yang lebih penting adalah bagaimana memaknai peringatan tersebut. Makna sebuah peringatan bukanlah sekedar mengingat-ingat apa yang terjadi pada masa lampau. Namun lebih dari itu adalah mengingat untuk melakukan introspeksi diri dan belajar dari masa lampau. Masa kebangkitan nasional adalah masa dimana strategi untuk lepas dari diskriminasi dan sub-ordinasi yang dilakukan oleh sang kolonial beralih ke strategi perjuangan melalui organisasi politik modern. Kesadaran akan ketertindasan dan diskriminasi oleh sang kolonial serta upaya sejajar dengan sang penjajah dirumuskan sedemikian rupa dalam sebuah organisasi menjadi suatu cita-cita agar lepas dari cengkeraman kolonialisme. Sebuah masa yang menjadi penghela perjuangan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.