"Apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraanya?". Itu adalah bagian kritikan yang disampaikan Kolonel Adjie Suradji kepada SBY beberapa waktu lalu melaui opini sebuah surat kabar nasional. Sebuah kritikan yang menunjukkan kekecewaan dan ketidakpuasan atas kinerja presiden selama ini. Mungkin apa yang disampaikan Kolonel tersebut merupakan perasaan yang sama yang dirasakan kebanyakan masarakat kita akhir-akhir ini terhadap kinerja pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif.
Pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan seperti ledakan tabung gas, kenaikan harga hingga korupsi yang masih saja tinggi persentasenya. Hal ini diperparah dengan buruknya kinerja lembaga legislatif (DPR) yang seakan-akan tidak serius menyuarakan suara rakyat. Anggota dewan hanya sibuk menggolkan dana aspirasi ini dan itu. Selain itu beberapa waktu lalu terkuak tingginya angka ketidakhadiran anggota dewan dalam sidang. Dan peristiwa terakhir adalah upaya pembangunan gedung baru yang dianggap mencederai nurani rakyat.
Mungkin hal itu jugalah yang dirasakan oleh sang Kolonel. Kritik adalah dinamika dalam demokrasi dan merupakan hal yang wajar. Namun yang menjadi permasalahan adalah posisi dia sebagai pengkritik yang merupakan seorang perwira aktif di TNI. Apa yang dilakukan Kolonel Adjie tersebut merupakan preseden buruk terhadap upaya reformasi TNI menuju pada militer yang profesional. Karena bagaimanapun juga melakukan kritik terbuka di media massa merupakan salah satu wujud politik praktis. Padahal sejak reformasi, upaya mengembalikan militer sebagai organ professional yang tidak terlibat dalam politik praktis gencar dilakukan.
Jadi disamping melanggar etika dan disiplin dalam TNI karena melakukan kritik terhadap Panglima Tertinggi TNI (Presiden), kritik terbuka tersebut juga menjadi bentuk langkah mundur institusi TNI dalam mereformasi diri (meski mungkin opini sang Kolonel adalah inisiatif sendiri). Artinya bahwa jika semua perwira TNI mengekspresikan kekecewaan terhadap pimpinan (Presiden) secara terbuka, maka stabilitas pemerintahan akan goyah karena tidak mendapat dukungan dari militer dan militer akan kembali aktif dalam dunia politik praktis. Militer selama ini terbukti menjadi salah satu organisasi paling solid dalam sejarah politik Indonesia.
Tentu kita masih ingat akan istilah Dwi Fungsi ABRI/ Dwi Dharma ABRI. Istilah jalan tengah bagi militer yang diinisiasi oleh Jendral AH Nasution tersebut adalah bentuk pembenaran atas partisipasi militer dalam politik. Dengan munculnya kritik terbuka seperti yang dilontarkan oleh Kolonel Adjie Suradji tersebut juga bisa dikhawatirkan akan menjadi wujud semangat untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI muncul kembali suatu saat. Jadi alangkah lebih bijaknya jika opini sang Kolonel tersebut kita dudukkan sebagai suara kegelisahan masyarakat kita terhdap buruknya kinerja pemerintah dan DPR yang kurang tanggap terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa ini. Bukan sebagai suara institusi militer untuk kembali berpolitik. Sehingga tepat jika sanksi tegas perlu diberikan kepada anggota TNI aktif yang melakukan kritik terbuka terhadap atasannya, agar profesionalisme TNI tetap terjaga.
(September-2010)
Kamis, 09 September 2010
Kritik Sang Kolonel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kok ga ada posting-an lagi...
:(
Posting Komentar